
REALITANYANEWS, JAKARTA – Dana besar sudah dikucurkan, dukungan politik pun sudah digenggam. Namun mimpi Indonesia tampil di Piala Dunia 2026 kembali kandas tragis. Presiden Prabowo Subianto, yang telah menambah anggaran besar untuk PSSI dan Timnas Indonesia, kini hanya bisa menerima kenyataan pahit: proyek sepak bola nasional belum membuahkan hasil.
Sementara itu, Menteri Pemuda dan Olahraga sekaligus Ketua Umum PSSI Erick Thohir datang menemui Presiden dan secara terbuka menyampaikan permohonan maaf.
Erick Thohir Minta Maaf di Hadapan Presiden
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengungkapkan bahwa Erick hadir langsung dalam rapat terbatas bersama Presiden di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Selasa (14/10/2025). Dalam pertemuan itu, Erick melaporkan hasil akhir perjalanan Timnas di Kualifikasi Piala Dunia 2026 dan memohon maaf karena gagal memenuhi target nasional.
“Menteri Pemuda dan Olahraga melaporkan kepada Bapak Presiden sekaligus memohon maaf bahwa Timnas kita belum berhasil lolos ke Piala Dunia 2026,” ujar Prasetyo Hadi.Prabowo disebut menerima laporan itu dengan berat hati. Namun sebagai Kepala Negara, ia tetap menyerukan agar fokus dialihkan ke agenda besar berikutnya: Piala Asia 2027 dan Olimpiade 2028.
“Beliau menyampaikan agar kita berusaha kembali dan fokus pada turnamen besar berikutnya,” tambah Prasetyo.Dana Jumbo dan Jam Rolex Tak Selamatkan Timnas
Kekecewaan publik semakin tajam karena pemerintah di bawah Prabowo sudah menunjukkan komitmen serius terhadap sepak bola nasional. Sebelum kualifikasi putaran keempat dimulai, Presiden bahkan menambah dukungan dana untuk PSSI sebesar Rp200 miliar lebih dari APBN.
Tak berhenti di situ, Prabowo juga menghadiahkan jam tangan Rolex GMT-Master II kepada para pemain Timnas Indonesia sebagai apresiasi atas kemenangan melawan China. Jam tangan edisi dua warna hijau-hitam itu ditaksir senilai Rp190 juta–Rp300 juta per unit.
Total pendanaan sepak bola nasional di bawah Erick Thohir mencapai Rp665 miliar untuk tahun 2025 terbesar sepanjang sejarah terdiri dari APBN Rp227 miliar dan swasta Rp438 miliar. Erick bahkan pernah menyebut PSSI membutuhkan Rp800 miliar per tahun untuk membiayai seluruh program Timnas dari level junior hingga senior.
Namun, dengan segala limpahan dukungan dan dana jumbo itu, hasilnya tetap jauh dari ekspektasi.
Kegagalan Kluivert dan Krisis Kepercayaan Publik
Kegagalan Timnas ini menjadi pukulan telak bagi Erick Thohir. Sebagai Ketua Umum PSSI sekaligus Menpora, ia berada di dua posisi strategis: pengambil kebijakan dan penanggung jawab anggaran.
Namun sejak memecat Shin Tae-yong dan menunjuk Patrick Kluivert, arah permainan Timnas justru tidak menentu. Indonesia kalah di dua laga awal putaran keempat 2-3 dari Arab Saudi dan 0-1 dari Irak tanpa mencetak satu gol pun dari permainan terbuka.
Padahal skuad Garuda kini diisi pemain diaspora terbaik dalam sejarah: Jay Idzes, Thom Haye, dan Maarten Paes.
“Janji memperbaiki prestasi tidak terbukti. Enam laga resmi, hanya dua kali menang, empat kali kalah. Itu bukan progres,” tegas pengamat sepak bola Mohamad Kusnaeni.Menurutnya, Kluivert gagal memahami karakter sepak bola Asia. Eksperimen formasi dan rotasi pemain di laga-laga krusial membuat Timnas kehilangan identitas.
Investasi Besar, Hasil Nihil
Erick Thohir sebelumnya menjanjikan “investasi besar untuk prestasi besar.” Namun kini, narasi itu berubah jadi sorotan tajam. Publik mulai bertanya: dari ratusan miliar rupiah dana yang digelontorkan, ke mana arah pembinaan Timnas sebenarnya?
Selain kegagalan taktik, manajemen risiko dan perencanaan PSSI juga dipertanyakan. Dengan kontrak Kluivert yang masih berlaku hingga 2027, pemecatan pelatih asal Belanda itu berpotensi menelan kompensasi miliaran rupiah.
Sebagai perbandingan, klub Adana Demirspor (Turki) pernah diwajibkan membayar Rp2,9 miliar kepada Kluivert setelah pemutusan kontrak sepihak.
Kini, PSSI terancam mengulangi kesalahan yang sama membakar uang untuk menutup blunder keputusan sendiri.
Mobil Sepak Bola Nasional Masih Mogok
Presiden Prabowo datang dengan niat kuat membangun sepak bola nasional bahkan sejak masa kampanye. Ia menyetujui tambahan anggaran besar dengan harapan Indonesia bisa menorehkan sejarah di 2026. Namun harapan itu kini berbalik menjadi kekecewaan nasional.
Tanggung jawab moral kini ada di pundak Erick Thohir. Ia bukan hanya Ketua Umum federasi, tapi juga pejabat negara yang mengelola dana publik.
PSSI kini berada di persimpangan: Apakah tetap mempertahankan proyek Kluivert demi kontinuitas, atau berani mengambil langkah koreksi total dengan risiko finansial tinggi?
Namun satu hal jelas kepercayaan publik sudah menipis. PSSI di bawah Erick Thohir sudah punya uang, fasilitas, dan dukungan politik yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Tapi tanpa visi dan arah yang jelas, semua itu hanya jadi anggaran prestise tanpa prestasi.
“Prabowo sudah memberi bensin. Erick Thohir yang pegang setir. Tapi kalau mobil sepak bola Indonesia masih mogok di tengah jalan, jelas yang salah bukan bahan bakarnya melainkan sopirnya.”












