
REALITANYANEWS, JAKARTA – Warganet di platform X (Twitter) kembali “mengamuk” usai beredarnya foto-foto staf kepelatihan Timnas Indonesia era Patrick Kluivert. Pasalnya, di tengah hasil buruk Timnas dan gagalnya lolos ke Piala Dunia 2026, publik menyoroti jumlah staf yang bejibun tapi tak mampu memberi hasil sepadan.
Akun @KleponManis87 menulis sindiran pedas:
“Coba bandingkan dengan staf kepelatihan sebelumnya yang cuma segini tapi bisa bikin tiga kelompok Timnas main di Piala Asia.
Sekarang, katanya tim pelatih terbaik, staf segudang, tapi cuma pegang satu tim aja, tetap gagal.”Sindiran makin tajam saat akun @dtoadnsh_ membandingkan dengan era Shin Tae-yong (STY).
“Era STY dikasih pesawat kelas ekonomi, hotel pinggiran kota, isu miring ke mana-mana. Tapi hasilnya? Timnas nunjukin progres.”Akun lain, @prismapro27, menimpali:
“Giliran gagal nyalahin persiapan. Padahal ya salahnya sendiri nggak mau stay di Indo.”Tak ketinggalan, akun @pagolonet melontarkan kalimat paling viral malam itu:
“Business class flight every agenda. Luxury hotel every match. But the result end up like a sh***. Turis berbalut ‘expert’ ini mah namanya.”Sementara akun @garudanusantaraofficial menambahkan daftar panjang keluhan publik soal gaya kepelatihan Kluivert:
- Overbudget
- Suka ngaret
- Minta fasilitas nomor satu
- Ribet — sampai minta sepatu yang ketinggalan di Belanda dikirim express ke Bali
Unggahan-unggahan ini langsung jadi trending, karena banyak yang menilai Kluivert datang dengan status “pelatih top Eropa” tapi gagal memahami kultur sepak bola Indonesia.
Padahal, eks pelatih Adana Demirspor itu membawa rombongan staf lebih dari 15 orang, jumlah yang belum pernah terjadi di era pelatih sebelumnya. Namun hasil di lapangan justru jeblok dua laga, dua kekalahan, tanpa satu pun gol dari open play.
Banyak komentar bernada sinis:
- “Fasilitas bintang lima, hasil bintang jatuh.”
- “Tim pelatih atau tim wisata olahraga?”
- “Shin Tae-yong mungkin kalah gaya, tapi jelas menang kerja.”
Di era Kluivert, uang dan fasilitas bukan lagi masalah. Tapi hasilnya membuktikan: mental, taktik, dan pemahaman kultur tetap lebih penting daripada status ‘expert’. Seperti kata netizen, “Kalau hasilnya begini, siapa yang sebenarnya butuh pelatih impor?”












