
Realitanyanews, JAKARTA – Langkah Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang menjajaki kerja sama dengan Kepolisian RI memicu kontroversi di kalangan pelaku industri film Indonesia. Banyak yang mempertanyakan urgensi dan potensi dampaknya terhadap kebebasan berekspresi.
BPI sebelumnya mengunggah dokumentasi pertemuan dengan Divisi Humas Polri di akun media sosialnya, Senin (21/4). Disebutkan bahwa pertemuan itu membahas nota kesepahaman (MoU) terkait “pengembangan kapasitas SDM.” Namun, satu foto dalam unggahan tersebut memantik kontroversi: foto draf MoU bertajuk “Sinergisitas Pengawasan Pembuatan, Pengedaran, Pertunjukan Film Kepolisian Negara Republik Indonesia.”
Istilah “pengawasan” inilah yang kemudian memicu reaksi keras dari para sineas, termasuk sutradara Yosep Anggi Noen dan Riri Riza, serta pengamat film Hikmat Darmawan.
“Kalau inisiatif MoU ini datang dari BPI, maka para pemangku kepentingan film layak mempertanyakan lebih keras: dari sisi apa kemaslahatannya, dan apa urgensinya?” kata Hikmat.
Ketua Umum BPI, Gunawan Panggaru, menyatakan bahwa judul MoU tersebut belum final dan masih dalam tahap pencarian istilah yang tepat. Ia mengakui bahwa kata “pengawasan” menimbulkan kesan negatif dan telah dicabut dari draf presentasi.
"Itu bahan presentasi. Dari pihak Polri sendiri melihat judul itu kurang tepat," ujarnya. Ia juga menegaskan bahwa kebebasan berekspresi tetap dijamin dalam UU Perfilman. "Kalau ada ‘pengawasan’, saya yang paling depan maju," katanya.
Gunawan menjelaskan bahwa tujuan utama kerja sama ini adalah untuk mempermudah akses riset, terutama dalam penggunaan atribut polisi dan prosedur operasional.
"Banyak sinetron kita yang keliru karena sulit mendapatkan akses riset. Kalau tidak diikat MoU, biasanya kalau ganti komandan, ya selesai urusannya," ujarnya.
Namun, banyak pihak tetap menilai alasan itu tidak cukup kuat untuk melibatkan lembaga seperti kepolisian dalam bentuk kerja sama formal.
"Kalau cuma soal atribut yang kadang salah, itu terlalu kecil untuk jadi kesepakatan antar lembaga," tegas Yosep Anggi Noen, sutradara Istirahatlah Kata-Kata dan The Science of Fictions. Ia mengaku baru mengetahui rencana kerja sama ini dari media sosial.
Kritik juga datang dari warganet dan komunitas film yang menilai BPI kurang sensitif terhadap situasi politik dan sosial saat ini, di mana institusi kepolisian tengah mendapat sorotan tajam.
Hikmat Darmawan menilai, kerja sama ini mencerminkan “ketidakpekaan” BPI terhadap konteks yang berkembang, termasuk kasus band punk Sukatani yang harus menarik lagunya yang berisi kritik terhadap polisi, hingga pembahasan RUU Polri dan KUHAP yang dinilai memperluas kewenangan aparat.
"BPI seperti tidak punya kepekaan. Ini tone deaf," ujarnya.
Sejarah menunjukkan bahwa keterlibatan negara dalam perfilman pernah terjadi secara ketat di masa Orde Baru, di mana penggambaran tokoh-tokoh seperti polisi dan tokoh agama diatur secara eksplisit dalam narasi film.
"Kalau film horor, setan harus kalah oleh tokoh agama. Polisi tidak boleh digambarkan negatif. Bahkan ada film komedi yang judulnya diubah karena kata 'kiri' disebut lebih dulu,” jelas Hikmat.
Meski era reformasi telah membawa angin kebebasan dalam perfilman, Hikmat menilai penggambaran polisi masih cenderung steril dan hitam-putih. Contoh terbaru ada di film Pengepungan di Bukit Duri karya Joko Anwar, yang menampilkan polisi sebagai penjaga ketertiban namun tak mengangkat sisi struktural kekerasan negara.
"Tidak ada narasi soal ketidakhadiran negara atau aparat dalam kekacauan yang digambarkan. Semua beban jatuh pada warga sipil," ujar Hikmat.
BPI sebagai lembaga non-struktural negara dibentuk berdasarkan amanat UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Dalam situs resminya, BPI menyatakan bertugas untuk memajukan perfilman melalui festival, riset, pendanaan, dan promosi film Indonesia, baik di dalam maupun luar negeri.
Meski begitu, langkah BPI kali ini dianggap oleh sebagian besar komunitas film sebagai kemunduran dalam menjaga ruang ekspresi yang bebas dan merdeka.
Sumber: BBC