Beranda Nasional KPK Ungkap Kode “Uang Zakat” dalam Kasus Dugaan Korupsi LPEI, Kerugian Potensial...

KPK Ungkap Kode “Uang Zakat” dalam Kasus Dugaan Korupsi LPEI, Kerugian Potensial Rp 11,7 Triliun

KPK Tetapkan 5 Tersangka di Kasus LPEI, Kerugian Negara Capai Rp 900 Miliar(KOMPAS.com/Haryanti Puspa Sari)

Realitanyanews, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan adanya istilah “Uang Zakat” dalam kasus dugaan korupsi terkait pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Istilah tersebut muncul ketika direksi LPEI meminta jatah kepada debitur, dengan jumlah “Uang Zakat” yang diberikan antara 2,5 hingga 5 persen dari total kredit yang dicairkan.

"Memang ada namanya 'Uang Zakat' yang diberikan oleh para debitur ini kepada direksi yang bertanggung jawab terhadap penandatanganan pemberian kredit tersebut, yaitu besarannya antara 2,5 sampai 5 persen dari kredit yang diberikan," kata Plh Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo di Gedung Merah Putih, Jakarta, Senin (3/3/2025).

Saat ini, KPK telah menetapkan lima tersangka dalam perkara ini, yaitu: Dwi Wahyudi, Direktur Pelaksana I LPEI, Arif Setiawan, Direktur Pelaksana IV LPEI, Jimmy Masrin, Newin Nugroho, Susy Mira Dewi Sugiarta, selaku debitur dari PT Petro Energy.

Dalam keterangannya, Budi menjelaskan bahwa terdapat beberapa perbuatan melawan hukum dalam kasus ini. LPEI diduga memberikan fasilitas kredit kepada PT Petro Energy meskipun perusahaan tersebut tidak layak untuk diberi kredit. Selain itu, direksi LPEI tidak melakukan inspeksi terhadap jaminan atau agunan yang diserahkan oleh PT Petro Energy saat mengajukan proposal kredit.

Budi juga menyebutkan bahwa PT Petro Energy diduga memalsukan kontrak yang dijadikan dasar untuk mengajukan kredit ke LPEI. Hal ini sudah diketahui oleh direksi LPEI, namun mereka tidak melakukan pengecekan, dan tetap memberikan persetujuan terhadap pencairan kredit pertama sebesar Rp 229 miliar.

"Dan ini sudah diketahui dan diberikan masukan oleh pihak analis ataupun bawahan dari direktur. Namun, para direktur tetap memberikan kredit kepada PT PE walaupun kondisi tersebut sudah dilaporkan dari bawahan," ujar Budi.

Lebih lanjut, Budi menyebutkan bahwa PT Petro Energy mestinya tidak berhak mendapatkan tambahan kredit (top-up) sebesar Rp 400 miliar dan Rp 200 miliar setelah pencairan pertama, namun hal ini tetap disetujui oleh direksi yang memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan tersebut. Selain itu, PT Petro Energy juga memalsukan purchase order dan invoice tagihan yang digunakan untuk pencairan kredit di LPEI.

Penyidik KPK menemukan bukti terkait pemalsuan ini melalui saksi-saksi, dokumen-dokumen, serta barang bukti elektronik.

Sementara itu, LPEI mengklaim dalam proposal kredit bahwa tujuan penggunaan kredit adalah untuk bisnis bahan bakar solar. Namun, faktanya kredit tersebut tidak digunakan sesuai dengan tujuan tersebut, melainkan dialihkan untuk investasi ke usaha lain.

Kerugian Potensial Rp 11,7 Triliun

Berdasarkan perhitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian keuangan negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai 60 juta dolar AS atau setara dengan Rp 900 miliar.

"Jadi, total kerugian negara kurang lebih Rp 900 miliar atau sekitar 60 juta dolar AS," ujar Budi.

Hingga saat ini, KPK baru mengungkap satu dari 11 debitur yang menerima fasilitas kredit dari LPEI, yakni PT Petro Energy. Potensi kerugian negara dari pemberian fasilitas kredit kepada 11 debitur tersebut diperkirakan dapat merugikan negara hingga Rp 11,7 triliun.

"Adapun total kredit yang diberikan dan juga menjadi potensi kerugian keuangan negara akibat pemberian kredit tersebut adalah kurang lebih Rp 11,7 triliun," tambah Budi.

Sumber: Kompas

Google search engine

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini