
REALITANYANEWS, JAKARTA – Hiroshima memperingati 80 tahun pengeboman atom oleh Amerika Serikat pada Rabu pagi, 6 Agustus 2025, dalam sebuah upacara yang dihadiri Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba dan sejumlah pejabat tinggi. Lonceng perdamaian dibunyikan tepat pukul 08.15, waktu ketika bom dijatuhkan pada 6 Agustus 1945. Upacara dilanjutkan dengan hening cipta selama satu menit dan pelepasan merpati putih.
Tragedi yang menewaskan sekitar 140.000 jiwa itu masih menyisakan luka. Namun di tengah peringatan, pemerintah Jepang kembali menegaskan dukungannya terhadap perlindungan nuklir dari Amerika Serikat dan belum menandatangani perjanjian pelarangan senjata nuklir. Para penyintas mengecam sikap tersebut sebagai “retorika kosong”, dan mendesak kompensasi serta pengakuan yang lebih besar atas penderitaan warga sipil.
Amerika dan Warisan Bom Atom
Pada 6 Agustus 1945, AS menjadi negara pertama dan satu-satunya dalam sejarah yang menggunakan senjata nuklir dalam perang, menjatuhkan bom atom di Hiroshima, disusul Nagasaki tiga hari kemudian. Di Nagasaki, setidaknya 40.000 orang tewas. Saat itu, jajak pendapat menunjukkan 85 persen warga AS mendukung pengeboman tersebut.
Namun delapan dekade berlalu, persepsi mulai bergeser. Survei Pew Research Center pada Juli 2025 menunjukkan masyarakat Amerika kini terbelah: sepertiga mendukung pengeboman, sepertiga menentangnya, dan sisanya tidak yakin.
“Ada penurunan stabil dalam dukungan publik terhadap pengeboman ini dari tahun ke tahun,” ujar Eileen Yam, Direktur Riset Pew, kepada Al Jazeera.
Sejumlah akademisi dan sejarawan menilai pengeboman bukan satu-satunya faktor yang membuat Jepang menyerah. Deklarasi perang Uni Soviet terhadap Jepang pada 8 Agustus 1945 juga diyakini memainkan peran besar. Ada pula anggapan bahwa serangan atom adalah demonstrasi kekuatan AS jelang Perang Dingin.
Bahkan sejak awal, pengeboman itu dikecam oleh tokoh seperti Albert Einstein dan mantan Presiden AS Herbert Hoover.
“Penggunaan bom atom, dengan pembunuhan tanpa pandang bulu terhadap perempuan dan anak-anak, membuat saya muak,” tulis Hoover beberapa hari setelahnya.
Pro dan Kontra di Negeri Sendiri
Warisan serangan itu tetap kontroversial di AS. Pada 1995, Museum Dirgantara dan Antariksa Nasional di Washington DC batal membuka pameran khusus memperingati 50 tahun pengeboman setelah mendapat protes keras dari kelompok veteran dan Kongres AS. Pameran dinilai terlalu menonjolkan sisi penderitaan warga Jepang dan meremehkan pengorbanan tentara AS.
Erik Baker, dosen sejarah sains di Harvard, menyebut perdebatan soal bom atom mencerminkan pertanyaan yang lebih besar tentang legitimasi kekuasaan AS di dunia.
“Narasi bahwa AS dibenarkan melakukan apa pun demi mengalahkan Poros dalam Perang Dunia II, sering dijadikan pembenaran atas intervensi militer di berbagai belahan dunia hingga kini,” ujarnya.
Perbedaan Pandangan Antar Generasi
Jajak pendapat Pew April 2024 menunjukkan kesenjangan generasi dalam memandang keterlibatan global AS. Sebanyak 74 persen warga berusia 65 tahun ke atas mendukung peran aktif AS di dunia. Namun hanya 33 persen generasi muda (18–35 tahun) yang setuju. Dalam hal pengeboman Hiroshima, responden tua dua kali lebih banyak yang membenarkannya dibanding anak muda.
“Usia adalah faktor paling menonjol,” kata Yam. “Bahkan lebih dominan dibanding afiliasi partai politik atau status veteran.”
Ancaman Baru, Kecemasan Lama
Peringatan 80 tahun Hiroshima terjadi di tengah kekhawatiran baru terhadap senjata nuklir. Ketegangan global meningkat: konflik Ukraina-Rusia, India-Pakistan, hingga serangan AS-Israel ke fasilitas nuklir Iran pada Juni 2025 memicu kecemasan internasional. Mantan Presiden AS Donald Trump bahkan memperingatkan potensi Perang Dunia III selama kampanyenya.
“Untuk pertama kalinya dalam lebih dari tiga dekade, senjata nuklir kembali menjadi isu utama politik global,” kata Ankit Panda dari Carnegie Endowment for International Peace.
Para aktivis berharap momen ini mendorong perubahan kebijakan global. Seth Shelden dari ICAN (International Campaign to Abolish Nuclear Weapons) menyebut negara-negara pemilik senjata nuklir masih mempertahankan argumen bahwa nuklir adalah alat pencegah agresi. Namun, lanjutnya, logika itu justru meningkatkan risiko perlombaan senjata dan konflik.
“Pertanyaannya bukan apakah pencegahan nuklir pernah berhasil,” tegas Shelden. “Tapi apakah ia akan terus berhasil selamanya.”
Sumber: sindonews