Beranda Metropolis LMKN Klarifikasi Isu Royalti Lagu Indonesia Raya: Tidak Berlaku karena Sudah Public...

LMKN Klarifikasi Isu Royalti Lagu Indonesia Raya: Tidak Berlaku karena Sudah Public Domain

ilustrasi mendengarkan lagu kebangsaan di cafe (chatgpt) (Anggi Fridianto Jawa Pos Radar Jombang)

REALITANYANEWS, JAKARTA – Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) mengklarifikasi pernyataan terkait kemungkinan pemungutan royalti atas pemutaran lagu kebangsaan Indonesia Raya. LMKN menegaskan bahwa lagu ciptaan WR Supratman tersebut sudah berstatus public domain, sehingga tidak dikenakan royalti.

"[Indonesia Raya] sudah termasuk public domain," ujar Komisioner LMKN Bidang Kolekting dan Lisensi, Yessi Kurniawan, saat dihubungi pada Kamis (7/8). "Semua orang boleh menggunakan, tetapi tidak perlu membayar royalti kepada penciptanya."

Yessi menjelaskan, merujuk Pasal 58 Ayat 1 UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, perlindungan hak cipta berlaku selama hidup pencipta dan berlanjut hingga 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia, terhitung mulai 1 Januari tahun berikutnya. Dalam hal ini, hak ekonomi tidak lagi berlaku, meskipun hak moral tetap harus dihormati.

"Jadi tetap wajib mencantumkan nama WR Supratman sebagai pencipta lagu," tambah Yessi.

Tak Masuk Pelanggaran Hak Cipta

Lebih lanjut, Pasal 43 poin (a) dalam UU Hak Cipta juga menegaskan bahwa pengumuman, pendistribusian, komunikasi, dan/atau penggandaan lambang negara serta lagu kebangsaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta, selama dilakukan dalam bentuk aslinya.

Sementara itu, Pasal 44 menyatakan bahwa penggunaan karya cipta untuk tujuan pendidikan, pelatihan, penelitian, ceramah, penyelenggaraan pemerintahan, keamanan, hingga pertunjukan non-komersial tidak melanggar hak cipta, selama sumber disebutkan dan tidak merugikan kepentingan pencipta.

Royalti Tetap Dimungkinkan untuk Tujuan Komersial

Meski demikian, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran sekaligus perumus UU Hak Cipta, Prof. Ahmad M. Ramli, menyebut penarikan royalti terhadap lagu kebangsaan tetap memungkinkan bila digunakan dalam konteks komersial.

Hal itu ia sampaikan sebagai saksi ahli dalam sidang uji materiil UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi pada Kamis (7/8).

"Di Singapura, lagu kebangsaan boleh dikomersialkan, tetapi yang wajib membayar adalah mereka yang mengomersialkannya, bukan rakyat biasa," kata Prof. Ramli.

Ia mencontohkan, jika lagu kebangsaan diaransemen ulang dalam bentuk orkestra dan dikomersialkan melalui pertunjukan atau CD, maka pelaksana kegiatan wajib meminta izin kepada pemerintah.

"Itu bisa dijual sebetulnya, karena tidak mungkin orang membuat aransemen orkestra yang bagus tanpa ada pasar pembelinya," jelasnya. 
"Apakah Indonesia akan ke arah itu atau tidak, itu sepenuhnya tergantung pada kebijakan hukum ke depannya."

Tarif Royalti Diatur untuk Kegiatan Komersial

Penarikan royalti dalam UU Hak Cipta didasarkan pada adanya unsur komersial dalam kegiatan penggunaan musik. Sejak 2016, besaran tarif sudah diatur dalam SK Menteri mengenai Tarif Royalti Musik dan Lagu.

Contohnya, sebuah kafe kecil dengan kapasitas 20 kursi yang memutar musik untuk pengunjung, masuk dalam kategori usaha restoran & kafe. Berdasarkan ketentuan LMKN, tarif royalti yang dikenakan adalah Rp120 ribu per kursi per tahun.

Dengan demikian, total royalti yang wajib dibayar kafe tersebut per tahun adalah Rp2,4 juta, belum termasuk pajak. Nilai ini mencakup pembayaran atas Hak Cipta dan Hak Terkait.

Sumber: CNN Indonesia

Google search engine

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini